Beranda | Artikel
Bahaya Fanatisme Golongan
Rabu, 4 Juli 2007

BAHAYA FANATISME GOLONGAN[1]

Oleh
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali

Sesungguhnya cobaan yang menimpa umat Islam tidak hanya terbatas pada satu sisi tertentu saja. Bahkan meluas sampai pendidikan dengan mengerahkan segenap unsur dan sarananya untuk merubah aqidah, nilai-nilai, dan akhlak Islam. Sehingga orang yang menjadi sasaran rencana-rencana setan itu berada di dalam puncak kegembiraan, dia menyangka berada di atas kemajuan yang hebat. Oleh karena itu, sesungguhnya para ahli maksiat di kalangan kaum muslimin dewasa ini menjadi korban pendidikan yang salah, yang menjadikan mereka hanya memikirkan dunia. Pendidikan tersebut semenjak awal menghendaki kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan bagi kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ  

Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri. [al-Baqarah/2:109].

Allah juga berfirman:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. [Ali ‘Imran/3:100].

Sehingga akhirnya para penyeru kesesatan dan tokoh-tokoh kekafiran memandang remeh terhadap kaum Muslimin. Mereka memecah belah mereka menjadi golongan-golongan dan partai-partai.

كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [ar-Rûm/30: 32]

Itu merupakan rencana Iblis yang saling diwasiatkan oleh tentara setan.

 أَتَوَاصَوْا بِهِ ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ

Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu; sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas. [adz-Dzâriyât/51:53].

Sehingga akhirnya sampai kepada sumber penyakit dan akar bencana. Allah berfirman:

 إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ

Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. [al-Qashshash/28:4].

Akibatnya :

 فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ

Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu), lalu mereka patuh kepadanya.  Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. [az-Zukhruf/43: 54].

Demikianlah, tentara setan mengetahui tempat kebinasaan, yang juga telah diketahui oleh rezim Fir’aun dan tentaranya, lalu mereka saling berwasiat untuk melakukan pengrusakan, dan mereka menggiring masyarakat menuju kelompok-kelompok kecil yang tenggelam di dalam perpecahan dan fanatisme golongan. Sebagian mereka disibukkan mengurusi sebagian yang lain, sehingga mereka tidak akan bangkit, mengenal jalan, berusaha mendengar agama, dan kembali kepada keyakinan.

Namun para Ribbiyyûn,[2] yaitu orang-orang yang selamat dengan karunia dan nikmat Allah, mereka menghadang arus banjir besar hizbiyyah (fanatisme golongan), di mana arus ini telah menggigitkan taringnya pada tubuh umat yang satu, mencabik-cabiknya, lalu menceraiberaikannya dengan tanpa persatuan kembali.

Orang-orang zhalim berusaha menghapus rambu-rambu jalan dan sarana kemulian umat ini; yang jalan itu telah ditempuh oleh generasi teladan yang pertama. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya, karena khawatir hal itu akan menjadi pelita yang akan menerangi orang-orang yang mengikuti keridhan Allah kepada keadaan yang lebih lurus.

Para Ribbiyyûn itu mengumumkan di kalangan manusia kepada semua manusia, “Marilah menuju Islam dan Sunnah dengan pemahaman Salaful-Ummah (generasi awal umat ini), orang-orang yang telah mendahului masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya sampai hari pembalasan,” karena fondasi yang semestinya, ialah menetapi al-Kitab dan Sunnah dengan mengikuti para sahabat Radhiyallahu anhum, dan bangkitnya orang yang ahli mendakwahkannya berdasarkan jalan kenabian. Tidak menyelisihi jalan kenabian itu, baik dengan nama, gambar, hakikat maupun bentuknya. Karena sesungguhnya, ini termasuk rambu-rambu peribadahan di atas petunjuk sebaik-baik makhluk (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Allah berfirman

 قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku bukan termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yûsuf/12:108].

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
Mereka (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) tidak menisbatkan diri kepada suatu nama; yaitu mereka tidak menjadi terkenal dengan suatu nama, sehingga dengan nama itu mereka dikenal di kalangan manusia, yang telah menjadi tanda-tanda bagi orang yang menempuh suatu thariqah (jalan). Demikian juga, mereka tidak mengkhususkan dengan satu amalan yang sesuai dengan namanya, sehingga mereka dikenal dengan amalan itu tanpa amalan-amalan yang lain.[3] Karena sesungguhnya ini merupakan cacat dalam peribadahan. Itu adalah peribadahan yang dikhususkan. Adapun peribadahan yang mutlak, maka pelakunya tidaklah dikenal dengan nama tertentu dari makna-makna nama-nama peribadahan itu. Seorang yang melakukan peribadahan yang mutlak menyambut seruan peribadahan dengan perbedaan jenis-jenisnya. Dia bersama setiap pelaku peribadahan memiliki bagian yang ia lakukan bersama mereka. Sehingga ia tidak mengkhususkan dengan gambar, isyarat, pakaian, atau thariqah yang dibuat-buat.[4] Bahkan, jika dia ditanya mengenai syaikhnya (gurunya), ia menjawab “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Jika ditanya mengenai thariqahnya, dia menjawab “ittiba” (mengikuti dalil). Jika ditanya mengenai pakaian khususnya, dia menjawab “pakaian takwa”. Jika ditanya mengenai madzhabnya, dia menjawab “menjadikan Sunnah sebagai hakim”. Jika ditanya mengenai tujuannya, ia menjawab: “Mereka menghendaki wajah Allah -al-An’âm/6 ayat 52. Jika ditanya mengenai nasabnya, dia menjawab:

أبي الإسلام لا أب لي سواه                 إذا افتخروا بقيس أو بتميم
Bapakku adalah Islam, aku tidak memiliki bapak selainnya                    
Jika mereka membanggakan (nasab), ialah dengan Qais atau Tamim

Di antara manusia ada yang mengkhususkan pakaian tertentu; dia tidak mengenakan pakaian lainnya. Atau mengkhususkan duduk di tempat tertentu; dia tidak duduk di tempat lainnya. Atau mengkhususkan cara berjalan tertentu; dia tidak berjalan dengan selainnya. Atau mengkhususkan dengan bentuk pakaian dan cara yang tidak pernah ia tinggalkan. Atau mengkhususkan ibadah tertentu; dia tidak beribadah dengan selainnya, walaupun yang lain itu lebih tinggi dari ibadah yang ia lakukan. Atau mengkhususkan syaikh (guru) tertentu; dia tidak memandang guru yang lainnya, walaupun guru lain tersebut lebih dekat kepada Allah dan Rasul-Nya daripada gurunya.

Mereka semua terhalang dari meraih tuntutan yang paling tinggi. Kebiasaan-kebiasaan, gambar-gambar, keadaan-keadaan, istilah-istilah, telah menghalangi mereka dari memurnikan mutâba’ah (mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Sehingga mereka terasing dari Sunnah. Rumah mereka adalah rumah yang paling jauh dari Sunnah. Engkau melihat salah seorang dari mereka beribadah dengan riyadhah (tirakat), khalwat (menyepi) dan mengosongkan hati, dan mengganggap ilmu agama menghalangi jalan (yang dia tempuh). Jika disebutkan kepadanya muwâlah dan mu’âdah (membela dan memusuhi) karena Allah dan amar ma’ruf nahi mungkar, dia menganggap hal itu sebagai perbuatan berlebihan yang tidak perlu dan keburukan. Jika mereka melihat orang yang melakukannya di antara mereka, maka mereka akan mengusir dari kelompok mereka, dan mereka menganggap orang itu cemburu terhadap mereka. Mereka itu adalah orang-orang yang paling jauh dari Allah, walaupun mereka paling banyak dipuji (oleh manusia), wallaahu a’lam.

Semoga Allah merahmati Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah, karena beliau telah mengungkapkan yang bergejolak di dalam hati kita. Sesungguhnya kita telah ditimpa oleh keadaan ini, yang diwariskan dari mayoritas firqah-firqah dan golongan-golongan yang telah ditawan oleh belenggu-belenggu hizbiyyah (fanatisme golongan), dan nafas-nafasnya telah dibebani oleh beban-beban sirriyah (aktifitas yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).

Jika ada seorang muslim di luar kelompok mereka memberikan nasihat karena Allah dan Rasul-Nya, maka mereka menuduhnya sebagai “orang yang menghambat”, “pengacau”, “orang yang membuat keributan”, “dia ingin merobohkan shaf  (bangunan) Islam dan membuka peluang kepada musuh-musuh Islam”.

Sebaliknya, jika datang pemberi nasihat dari kalangan mereka sendiri, mereka menuduh “dia terjatuh di jalan ini, menghendaki perpecahan dan menelantarkan kawan”.

Aduhai inginnya aku mengetahui! Kapan mereka mengetahui, bahwa lingkaran Islam itu sangat luas, persaudaraan iman itu lebih penting, dan manhaj (jalan) Salaf yang pertama itu lebih berilmu, lebih bijaksana, dan lebih selamat?

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari makalah berjudul “Ribbiyyûn lâ hizbiyyûn”, dari kitab al-Maqalât as-Salafiyah fil ‘Aqidah wad-Da`wah, wal-Manhaj, wal`Waqi`, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali –hafizhahullah-, Penerbit Maktabah al-Furqân, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M, hlm. 83-85.
[2] Ribbiyyûn memiliki beberapa arti, yaitu jama’ah, ulama’, ulama’ yang berbakti dan bertakwa, para pengikut, atau rakyat. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali ‘Imraan/3 ayat 146. Nampaknya yang lebih tepat dalam kalimat ini ialah ulama’ yang berbakti dan bertakwa, pent.
[3] Seperti Jama’ah Tabligh, mereka dikenal karena dakwahnya. Jama’ah Dzikir, dikenal karena dzikirnya; dan sebagianya, pent.
[4] Seperti thariqah Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Qadiriyah, dan lainnya dari thariqah-thariaqh Shufiyah, pent.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2165-bahaya-fanatisme-golongan.html